Kisah pertama ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang,
Salim A.Fillah chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”
***
Ada
rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun.
Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah
sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan
kerjanya, parasnya.
Lihatlah
gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik
darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia
seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan
hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak
diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah
ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula
saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
"Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut CINTA"
Tapi,
ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat
kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta
dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia
merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di
sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat
dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan
RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan
perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau
untuk menanti maut di ranjangnya.. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr
berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah
yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn
’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak
mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah
berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela
Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan
siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa
waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di
hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus
menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya
belum berakhir.
Setelah
Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat
kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang
membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar
memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu
Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan
kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua
pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu
coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar
melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam
kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit
pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia
thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa
yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya
berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka
’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman
sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang
seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab
binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya
hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf
yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu
dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz
kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali
pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya
keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara
ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju
besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi
meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan!
Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat
kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati
wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan
selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan
jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar Aliiiii !!!! , kata mereka"
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan
’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan
rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras
agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah
jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua
perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil
kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah
keberanian.
Dan
ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam
suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah
ini disampaikan disini, bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu
atau romantis-romantisan. Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar
lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah bahwa ternyata keduanya telah memiliki
perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat
keduanya menjaga perasaan itu
Referensi Lainnya : http://kembanganggrek2.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment