Ben, lihatlah lautan ini. Airnya begitu biru, begitu banyak dengan buih yang membasahi pantai. Negeri ini seolah tidak akan pernah kering.
Laut? Aku tidak mampu melihat laut yang engkau ceritakan itu sahabat. Aku tidak melihatnya.
Yang kulihat hanyalah safana. Safana yang maha luas. Safana yang sepi, hanya ada semilir angin yang menggoyang rumput-rumput, dan gemerisik daun yang bersentuhan. Aneh tetapi, di safana ini aku tidak melihat hidup.
Apa yang engkau maksud Ben, aku tidak mengerti. Sepenuh aku tidak memahami ucapanmu itu. Kau meracau! Lihatlah laut biru ini. Tidakkah engkau merasakan sensasi pasir yang menggelitik kakimu, kesatnya garam yang menyetubuhi kulitmu. Ah, lihat itu! Serdadu ikan berlomba menjamah langit biru, tetapi mereka tak akan mampu. Laut adalah hidup mereka, sedang langit hanyalah mimpi.
Apakah aku buta? Bagaimana laut eksis di safana yang begitu nyata dan luas. Tidakkah engkau merasa rerumputan yang menggelayut di kakimu? Ah, hanya sayang. Safana ini begitu sepi, tak ada kehidupan di sini. Bahkan rerumputan yang menyelimuti seluruhnya hanyalah rerumputan kering yang mati, menunggu terbakar hingga semuanya menghitam menjadi abu, lalu membusuk dan menjadi humus. Menjadi ibu baru untuk rumput lain yang akan segera hidup.
Tahukah kau sahabat, apa yang ingin ku ungkapkan untuk safana ini? Mati untuk sejuta hidup.
Mati untuk sejuta hidup…
Ben, lepaskanlah sejuta kemelut kesepian itu. Biarkan jiwamu berbaur bersama lautan lepas, menjadi air atau hanya buih. Menjadi biru atau kelamnya dasar lautan. Biarkan laut menuntunmu.
Picik! Terlalu picik!
Aku tidak butuh lautan. Lautan terlalu rendah bagiku. Aku menginginkan langit biru.
Mana tanganmu sahabat, mari bergabung bersamaku. Kita perangi langit biru hingga menjadi merah ia lantas menghitam.
Ben, kapan kita akan perangi langit lagi? Hingga meruntuh ia dan bumi pun musnah bersama segala yang fana. Kita ciptakan langit baru, langit tanpa warna. Langit yang tidak biru, putih, hitam atau kemerahan. Langit yang hanya dimiliki Tuhan dan semua mampu menjamahnya, bukan langit yang terkotak yang hanya biru untuk biru dan merah untuk merah.
Sahabat, aku pun tidak tahu. Aku juga menginginkan langit baru yang tidak biru seperti laut biru dan tidak hitam sekelam kesunyian jiwaku ini.
Hahahaha….
Mengapa engkau tertawa Ben? Apa ada yang lucu.
Entahlah, tadi kita berbicara tentang safana sepi dan laut biru. Aku hanya tak mengerti, mengapa sekarang kita bersama membahas langit? Kita menjadi budak mimpi. Takdir kita bukan untuk menghancurkan langit, tetapi lebih daripada itu.
Kau benar Ben. Langit tidak pernah salah. Sedari dulu langit yang kita inginkan telah tercipta, langit tanpa warna. Langit tidak salah, yang salah adalah cahaya. Cahaya yang memberi warna.
Sahabat, apakah engkau menyadari satu hal?
Apa itu Ben?
Kau di lautan dan aku di safana. Baik di lautan maupun di safana, langit kita tetaplah sama. Tak peduli dataran apa yang kau pijak, langit itu tetap sama. Langit yang tak pernah memihak dan menghakimi. Langit itu benar-benar hamba…
Benar Ben, langit itu benar-benar hamba. Langit yang tak pernah menghakimi, karena yang patut menghakimi adalah Tuhan. JANGAN PERNAH MENGHAKIMI, KARENA KAMU BUKAN TUHAN.
Ben, aku mau pulang. Laut membuatku jenuh.
Ya sahabat, aku juga ingin pulang. Safana ini terlalu sepi untuk kujejaki.
Besok kita akan kemana?
Entahlah sahabat, mungkin pergi jauh dari bumi ini. Aku ingin mengitari gugus galaksi.
No comments:
Post a Comment