" Kawan, ada empat hal yang tidak dapat diraih kembali...
...batu... setelah dilempar!
...kata-kata... setelah diucapkan!
...kesempatan... setelah berlalu!
...waktu... setelah beranjak pergi! "

Saturday, 22 June 2013

Percakapan Tentang Jilbab 2

A: “Saya sangat lelah.”
B: “Lelah kenapa?”
A: “Lelah karena orang-orang tersebut selalu menghakimi saya.”
B: “Siapa yang menghakimi kamu?”
A: “Perempuan itu, setiap saya duduk dengannya, dia selalu menyuruhku untuk memakai Hijab.”
B: “Ohh.. Hijab dan Musik. Itu selalu menjadi tema utama.”
A: “Yah..! Saya mendengarkan musik tanpa memakai Hijab. Haha!”
B: “Mungkin dia hanya sekedar memberimu saran.”
A: “Saya tidak butuh nasehatnya. Saya tahu agama saya. Bisa gak sih dia gak ikut campur urusan orang lain?!”
B: “Mungkin kamu salah paham. Dia hanya mencoba berbuat baik kepadamu.”
A: “Tidak mencampuri urusan saya, itu baru namanya berbuat baik..”
B: “Sudah menjadi kewajiban dia untuk menasehatimu agar melakukan hal yang baik.”
A: “Percaya dengan saya! Gak perlu ada anjuran seperti itu, lagipula apa yang kamu maksud dengan ‘baik’?”
B: “Hmm… memakai Hijab, itukan satu hal yang baik untuk dilakukan.”
A: “Siapa yang bilang?”
B: “Ada di Al-Qur’an, bukan begitu?”
A: “Yaah.. Dia juga telah mengutipnya.”
B: “Dia mengutip surat Nur dan ayat lain kan?”
A: “Iya sih. Tapi itukan bukan dosa besar. Menolong orang dan sholat lebih penting.”
B: “Benar. Tapi hal-hal besar dimulai dari hal-hal yang kecil.”
A: “Benar juga sih. Tapi apa yang kamu pakai itu tidak penting. Yang penting itu memiliki hati yang baik.”
B: “Apa yang kamu pakai tidak penting?”
A: “Yup..”
B: “Kalau begitu buat apa kamu menghabiskan waktu satu jam dipagi hari untuk berdandan?”
A: “Apa maksudmu?”
B: “Kamu menghabisakan uang untuk kosmetik, dan menghabiskan waktu untuk menata rambutmu dan juga diet rendah karbohidrat.”
A: “Jadi?”
B: “Jadi yang saya maksud: ‘penampilan itu penting’!”
A: “Bukan.. Yang saya maksud memakai Hijab itu bukan hal penting dalam masalah agama.”
B: “Kalau gak penting kenapa ada di Al-Qur’an?”
A: “Kamu tahulah. Saya tidak bisa mengikuti semua hal yang ada di Al Qur’an.”
B”Maksud kamu Allah memerintahkan kamu untuk melakukan sesuatu lalu kamu tidak mematuhinya dan itu gak masalah?”
A: “Yup.. Allah kan Maha Pengampun.”
B: “Allah itu mengampuni orang-orang bertobat dan tidak mengulang kesalahannya.”
A: “Kata siapa itu?”
B: “Kata dari yang memerintahkanmu untuk menutup aurat.”
A: “Tapi saya gak suka Hijab. Itu membatasi kebebasan saya.”
B: “Tapi lotion, lipstick, maskara dan kosmetik lainnya tidak menghalangi kebebasan kamu? Kalau begitu apa sebenarnya definisi kebebasan menurutmu?”
A: “Kebebasan itu adalah melakukan apapun yang kamu inginkan.”
B: “Tidak. Kebebasan itu adalah dalam melakukan hal yang benar, bukan bebas melakukan segala hal yang diinginkan.”
A: “Gini loh. Saya banyak melihat orang yang tidak memakai Hijab dan mereka orang baik. Dan juga banyak orang yang memakai Hijab tapi mereka berkelakuan buruk.”
B: “Memangnya kenapa? Banyak orang yang baik denganmu tapi dia pecandu alkohol. Memangnya kamu harus menjadi pecandu juga? Kamu membuat alasan yang bodoh.”
A: “Saya tidak mau jadi ekstrimis atau fanatik. Saya baik-baik saja dengan pilihan tidak menggunakan Hijab.”
B: “Kalau begitu kamu fanatik dengan sekulerisme. Seorang ektrimis yang tidak mematuhi Allah.”
A: “Kamu gak paham. Kalau saya memakai Hijab. Siapa yang mau menikah dengan saya?”
B: “Jadi orang yang pakai Hijab gak bakalan nikah gitu?”
A: “Baik. Bagaimana kalau saya menikah dan suami saya tidak suka? Lalu ingin supaya saya melepaskannya?”
B: “Bagaimana kalau suamimu menginginkan kamu untuk melakukan perampokan bank?”
A: “Itu gak nyambung. Perampokan bank itu kejahatan.”
B: “Memangnya tidak mematuhi Penciptamu bukan kejahatan?”
A: “Nanti siapa yang akan menerima saya kerja?”
B: “Perusahaan yang menghormati orang apa adanya.”
A: “Gak mungkin, apalagi setelah 9-11.”
B: “Tetap saja. Sekalipun setelah peristiwa 9-11. Kamu kenal Hanan?, yang baru saja diterima di fakultas kedokteran. Yang lain juga ada. Hmm… siapa itu namanya? Gadis yang selalu pakai Hijab warna putih?”
A: “Yasmin?”
B: “Yah.. Yasmin. Dia baru saja menyelesaikan gelar MBA dan sekarang akan diterima di General Electric.”
A: “Lagian kenapa sih kamu menganggap saya kurang dalam beragama Cuma karena selembar kain?”
B: “Kenapa kamu menganggap wanita itu kurang Cuma karena warna lipstick dan sepatu hak tinggi?”
A: “Kamu belum menjawab pertanyaan saya.”
B: “Sebenarnya sudah. Hijab itu bukan Cuma selembar kain. Ini tentang kepatuhan terhadap Allah di lingkungan yang sulit. Ini keberanian. Ini bukti keimanan dan identitas perempuan. Beda dengan lengan pendek dan celana ketat kamu, untuk apa?”
A: “Itu namanya Fashion. Memangnya kamu hidup di goa? Lagipula Hijab itu ditemukan oleh pria yang ingin mengontrol wanita.”
B: “Yakin? Saya tidak tahu kalau pria bisa mengontrol wanita dengan Hijab?”
A: “Yah.. Begitulah.”
B: “Bagaimana dengan perempuan yang melawan suaminya demi untuk memakai Hijab? Dan perempuan di Perancis yang dipaksa untuk melepas Hijab mereka oleh pria? Bagaimana pendapat kamu tentang hal itu?”
A: “Hmmm.. itu beda.”
B: “Apa bedanya? Perempuan yang memintamu untuk memakai Hijab, dia juga perempuan kan?”
A: “Benar, tapi…”
B: “Tapi fashion, gitu? Fashion yang didesain dan dipromosikan oleh kebanyakan perusahaan milik pria dapat membuat kamu bebas? Laki-laki tak terkontrol lagi untuk mengekspos perempuan dan menggunakan mereka sebagai komoditas. Yang benar saja!!”
A: “Tunggu! Biar saya selesaikan dulu. Yang saya katakan adalah…”
B: “Mau bilang apalagi..? Kamu pikir pria dapat mengkontrol perempuan dengan Hijab. Gitu?”
A: “Yah..”
B: “Bagaimana detailnya?”
A: “Dengan menyuruh perempuan apa yang harus mereka pakai. Dungu!”
B: “Bukannya TV, Majalah dan Film juga menyuruh kamu tentang apa yang harus kamu pakai dan bagaimana agar tampil menarik?”
A: “Tentu saja.. Itu namanya Fashion.”
B: “Bukannya itu kontrol? Memaksamu untuk memakai apa yang mereka mau untuk kamu pakai.”
(diam)
B: “Bukan Cuma mengontrol kamu, tapi juga mengontrol pasar.”
A: “Apa maksud kamu?”
B: “Yang aku maksud adalah kamu diminta untuk kelihatan kurus dan anorexic seperti perempuan yang menjadi cover di majalah-majalah. Oleh pria yang mendesain semua majalah tersebut dan menjual semua produk tersebut.”
A: “Saya gak paham. Apa hubungannya antara hijab dan produk-produk tersebut?”
B: “Ini semua berhubungan. Memangnya kamu tidak tahu? Hijab adalah ancaman bagi konsumerisme. Wanita yang membelanjakan bermilyar dollar agar terlihat kurus dan hidup dengan standar fashion yang didesain oleh pria. Disinilah peran Islam yang mencampakkan semua omong kosong tersebut dan memfokuskan pada jiwa bukan penampilan serta tidak khawatir dengan tanggapan pria tentang penampilanmu.”
A: “Jadi saya gak perlu beli Hijab? Bukannya Hijab juga produk.”
B: “Yah. Produk yang membuat kamu bebas dari konsumsi yang kebanyakan dinikmati pria.”
A: “Berhenti mengkuliahi saya. SAYA TIDAK AKAN MENGGUNAKAN HIJAB! Itu hal yang aneh, kadaluarsa, dan sangat tidak cocok dengan hidup bermasyarakat….. ditambah lagi saya baru 20 tahun. Saya masih terlalu muda untuk memakai Hijab.”
B: “Baik. Katakan itu kepada Allah ketika kamu berjumpa dengan-Nya di hari pembalasan!
A: “baik!”
B:
“baik!”
(diam)
A: “Saya tidak mau lagi mendengar tentang hijab niqab schmijab Punjab.”
(diam)
Dia berkaca memandang dirinya dicermin, lelah berargumen dengan dirinya sendiri selama ini. Cukup sukses. Dia berhasil membungkam pikiran-pikiran dikepalanya, dengan pendapatnya sendiri. Dia berjaya dengan kemenangan dalam perdebatan tersebut. Dan keputusan akhir yang modern dan diterima oleh masyarakat padahal ditolak oleh iman adalah….?
Yah…Keputusan itu adalah mengeritingkan rambut atau memblow rambut bukan memakai Hijab…


http://gadisberjilbab.tumblr.com/post/10558039026/percakapan-tentang-jilbab-2

Friday, 21 June 2013

Kisah Kakek Dan Pencuri Pepaya

kisah inspirasi .com ~ Saya ingin mengawali renungan kita kali ini dengan mengingatkan pada salah satu kisah kehidupan yang mungkin banyak tercecer di depan mata kita. Cerita ini tentang seorang kakek yang sederhana, hidup sebagai orang kampung yang bersahaja. Suatu sore, ia mendapati pohon pepaya di depan rumahnya telah berbuah. Walaupun hanya dua buah namun telah menguning dan siap dipanen. Ia berencana memetik buah itu di keesokan hari. Namun, tatkala pagi tiba, ia mendapati satu buah pepayanya hilang dicuri orang.


Kakek itu begitu bersedih, hingga istrinya merasa heran. “masak hanya karena sebuah pepaya saja engkau demikian murung” ujar sang istri.

“bukan itu yang aku sedihkan” jawab sang kakek, “aku kepikiran, betapa sulitnya orang itu mengambil pepaya kita. Ia harus sembunyi-sembunyi di tengah malam agar tidak ketahuan orang. Belum lagi mesti memanjatnya dengan susah payah untuk bisa memetiknya..”

“dari itu Bune” lanjut sang kakek, “saya akan pinjam tangga dan saya taruh di bawah pohon pepaya kita, mudah-mudahan ia datang kembali malam ini dan tidak akan kesulitan lagi mengambil yang satunya”.
Namun saat pagi kembali hadir, ia mendapati pepaya yang tinggal sebuah itu tetap ada beserta tangganya tanpa bergeser sedikitpun. Ia mencoba bersabar, dan berharap pencuri itu akan muncul lagi di malam ini. Namun di pagi berikutnya, tetap saja buah pepaya itu masih di tempatnya.

Di sore harinya, sang kakek kedatangan seorang tamu yang menenteng duah buah pepaya besar di tangannya. Ia belum pernah mengenal si tamu tersebut. Singkat cerita, setelah berbincang lama, saat hendak pamitan tamu itu dengan amat menyesal mengaku bahwa ialah yang telah mencuri pepayanya.

“Sebenarnya” kata sang tamu, “di malam berikutnya saya ingin mencuri buah pepaya yang tersisa. Namun saat saya menemukan ada tangga di sana, saya tersadarkan dan sejak itu saya bertekad untuk tidak mencuri lagi. Untuk itu, saya kembalikan pepaya Anda dan untuk menebus kesalahan saya, saya hadiahkan pepaya yang baru saya beli di pasar untuk Anda”.

Hikmah yang bisa diambil dari kisah inspirasi diatas, adalah tentang keikhlasan, kesabaran, kebajikan dan cara pandang positif terhadap kehidupan.

Mampukah kita tetap bersikap positif saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai dengan ikhlas mencari sisi baiknya serta melupakan sakitnya suatu “musibah”?

"Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta."
Kisah inspirasi diatas dikutip dari khutbah yang ditulis oleh ustadz Saiful Amien. Diambil dari http://malang.muhammadiyah.or.id/muhfile/malang/file/artikel/Mengakhlaqkan%20Cara%20Pandang.doc Gambar pohon pepaya dari http://mahaguru58.multiply.com/journal 

Karena Ukuran Kita Tak Sama

Oleh Salim A. Fillah       
"seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
    memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
    memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
    kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi" 
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.

Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,

“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”

Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.

”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,

“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”

Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.


”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.

“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.

”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”

“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“

“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”

Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,

”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”

‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.



‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.

Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.

Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.

“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

sepenuh cinta,
Salim A. Fillah


ditulis oleh ustadz Salim A. Fillah dalam http://salimafillah.com/karena-ukuran-kita-tak-sama/
ilustrasi foto unta dari http://nanjaandjelle.50webs.com/WestAfrica.html